OPINI - Demokrasi acap kali dipandang sebagai arena untuk saling menyerang lawan politik. Menghabisi karier politik seseorang tanpa mencerna secara jernih bahwa perbedaan dalam iklim demokrasi adalah sebuah keniscayaan dan kepastian. Demokrasi seperti ini tentunya tidak sehat, karena akan selalu diisi dengan pertengkaran di ruang-ruang publik. Ujung-ujungnya, masyarakat sebagai bagian vital dari proses demokrasi tidak mendapatkan pencerahan.
Demokrasi yang seharusnya menjadi pemandu menuju masa depan bangsa yang lebih gemilang, akhirnya berkubang pada titik paling nadir, terhempas ke dalam jurang agitasi karena demokrasi dianggap sebagai arena pertempuran demi meraih hegemoni kekuasaan. Padahal demokrasi seharusnya menjadi instrumen paling ideal dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara di negara yang semestinya menjunjung tinggi fatsun dan etika politik.
Penggunaan narasi dan diksi yang berbau militeristik di ruang-ruang publik makin memperparah keberlangsung demokrasi kita. Sehingga kesannya yang nampak terlihat oleh mata kita, terdengar oleh telinga kita, tercium oleh hidung kita, serta terasa oleh hati, jiwa dan pikiran kita adalah demokrasi yang menegangkan, menyeramkan, menakutkan, dan mendebarkan. Padahal sejatinya pesta itu adalah hiburan yang menyenangkan, bukan menakutkan.
Penciptaan suasana seperti ini justeru menjadi tidak baik untuk sebuah pesta demokrasi bernama Pemilu. Betul demokrasi adalah kompetisi, tetapi kompetisi politik tidak harus sarkastik, saling menjatuhkan dan mengorbankan yang lain. Jika diibaratkan sebuah olahraga, maka demokrasi itu adalah sebuah pertandingan. Usai bertanding, semua kembali bersalaman dan berangkulan. Bahkan memuji yang berhasil, dan menyemangati yang belum berhasil.
Demokrasi sehat sejatinya adalah impian kita bersama. Namun, hal ini hanyalah pepesan kosong belaka, karena yang nampak di permukaan malah pertengkaran di ruang-ruang digital, saling mem-bully, dan melambungkan ungkapan bernada olok-olokan. Kita sibuk mencari celah dan salah, hingga lupa bagaimana menjadi benar untuk kebenaran dan keunggulan yang kita dukung. TikTok, Facebook, aplikasi X dan Instagram menjadi wahanah saling ejek.
Tidak hanya kaum gen z dan milenial, kalangan “kolonial” pun seperti latah dan ikut menikmati irama nyinyiran dan nyayian sumbang warganet. Debat diperdebatkan, gimmik diperdebatkan, slip of tongue diperdebatkan, apa saja diperdebatkan. Semua larut untuk ikut menjadi bagian dalam debat yang tak sehat. Kandidasi Pilpres yang sejatinya menjadi pesta yang menyenangkan, seketika berubah menjadi menegangkan. Apa sih susahnya saling hormat?
Toh, para kandidat yang bertanding di Pilpres ini adalah teman bertanding, bukan musuh yang harus jadi lumpuh. Mereka nantinya akan saling rangkul dan saling dukung demi Indonesia yang lebih baik. Siapa yang menyangka Jokowi dan Prabowo dapat disatukan dan saling mendukung. Padahal keduanya adalah rival dalam dua kali Pilpres. Keduanya ibarat air dan minyak, mustahil bersatu. Namun, yang terjadi, mereka bersatu untuk satu mimpi, Indonesia maju.
Anies Rasyid Baswedan, Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming, dan Mahfud MD. Mereka adalah putra terbaik bangsa yang seharusnya dihormati, bukan di-bully jika keliru, bukan disakiti jika salah. Pemilih cerdas senantiasa menjaga demokrasi tetap sehat. Boleh berbeda, tetapi tidak boleh mencelah. Boleh kritis, tetapi harus konstruktif, karena kritik adalah bahan bakar demokrasi yang juga harus kita jaga terangnya.
Baca juga:
Tony Rosyid: Firli dan Prahara di KPK
|
Namun, kritik yang ada sekarang seperti kehilangan adab, norma dan etika. Kesannya bukan kritik, tetapi hanya mengejek. Lebih banyak mengedepankan umpatan, cacian, nyinyiran dan bully-an. Esensi kritik yang seharusnya disertai solusi, malah yang sampai hanya sensasi olok-olokannya. Ini yang disebut demokrasi yang kebablasan. Miris! Di alam demokrasi yang serba terbuka, harusnya kita mendepankan adab dan etika agar demokrasi tetap sehat. Wallahu’alam Bissawab. (LHr)
Oleh: Lukman Hamarong